jahangircircle.org, JAKARTA – Kementerian Pertanian memperkirakan Indonesia akan menghadapi kerugian sebesar US$2,17 miliar atau Rp 30 triliun jika gagal mematuhi undang-undang UE untuk memerangi deforestasi atau undang-undang Eropa akan hilang. (EUDR).
Mohammad Fauzan Ridha, Ketua Tim Kerja Pemasaran Internasional Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, mengatakan kontribusi ekspor minyak sawit Indonesia ke pasar Eropa telah mencapai 10 persen, menjadikan Indonesia sebagai pemasok minyak sawit terbesar keempat di Eropa. . telah menjadi .
“Indonesia akan kehilangan pasar Eropa, dan di saat yang sama, Uni Eropa berniat mengalihkan kebutuhan minyak sawitnya ke Malaysia. Meski dari segi produksi (Messia) berada di bawah kita, tapi dari segi manajemen bisa dikatakan Malaysia. mematuhi EUDR,” ujarnya dalam diskusi publik Indef, Rabu (23/10/2024).
Menurut Fauzan, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan nilai ekspor minyak sawit mencapai US$25,61 miliar pada tahun 2023. Minyak sawit menyumbang 10,2% total nilai ekspor negara, lebih besar dibandingkan minyak dan gas.
Jika akses pasar minyak sawit Indonesia di Eropa terganggu, maka neraca perdagangan pertanian akan mengalami penurunan yang signifikan, ujarnya. Pasalnya, produk kelapa sawit menyumbang 75,8 persen terhadap total nilai penjualan produk pertanian.
Selain berpotensi menekan devisa negara, Fauzan mengatakan EUDR juga akan menghambat penggunaan minyak sawit oleh petani kecil yang menguasai 41,3 persen ladang minyak Indonesia. Ia juga mengatakan, undang-undang baru UE ini berpotensi mengancam kelangsungan pekerjaan di sektor pertanian.
Kementerian Pertanian mencatat industri kelapa sawit mempekerjakan 5,5 juta tenaga kerja langsung dan 17 juta tenaga kerja tidak langsung. “Mereka akan terdampak jika penggunaan produk sawit terganggu karena akses pasar,” ujarnya.
Kementerian Pertanian mencatat total produksi kelapa sawit mencapai 51,98 juta ton pada tahun 2023. Uni Eropa telah mengumumkan bahwa penerapan EUDR akan ditunda hingga tahun depan mulai tanggal 30 Desember 2024. Keputusan ini memberikan tambahan waktu bagi negara-negara produsen minyak sawit, termasuk Indonesia, untuk lebih mempersiapkan diri memenuhi standar keberlanjutan yang ditetapkan dalam peraturan ini.