jahangircircle.org, JAKARTA — Para ekonom mengkhawatirkan rumor kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) hingga 12% dalam konteks persoalan melemahnya daya beli masyarakat kelas menengah saat ini.
Kepala Ekonom Drajad Wibowo mengaku tidak setuju dengan pidato tersebut karena khawatir akan berdampak pada penurunan penerimaan pajak. Diakuinya, ada potensi peningkatan penerimaan dari selisih tarif PPN sebesar 1%. Namun, dengan kondisi perekonomian saat ini, pemungutan PPN mungkin menjadi lebih sulit.
“Bagaimana jika kenaikan berarti masyarakat membayar lebih sedikit? Sama seperti jika produk dijual dengan harga lebih tinggi, maka lebih sedikit orang yang akan membelinya. “Inilah akhir dari penurunan pendapatan kita,” kata Drajad pada pertemuan usai kegiatan dialog mengenai masa depan Indonesia kebijakan di Jakarta, Rabu (9/10/2024).
Melemahnya daya beli masyarakat kelas menengah ditandai dengan tren deflasi yang terus berlanjut selama lima bulan berturut-turut. Menurut Drajad, fenomena tersebut juga dipengaruhi oleh tingginya angka pengangguran di Indonesia yang pada akhirnya mendorong sebagian masyarakat keluar dari kelas menengah.
Lebih lanjut, ekonom Aviliani menilai rencana kenaikan PPN menjadi 12% dapat memperburuk situasi kelas menengah yang semakin menurun. Jika daya beli melemah, dunia usaha pun ikut terpuruk.
Oleh karena itu, dia menyarankan agar pemerintah fokus pada peningkatan pendapatan masyarakat sebelum menaikkan pajak.
“Inilah yang menjadi perhatian dunia usaha. “Kalau mau menaikkan pajak, urus dulu pendapatan masyarakat kelas menengah, karena mereka adalah tuntutan pengusaha,” kata Aviliani.
Rencana kenaikan tarif PPN sebesar 12% tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Dalam Pasal 7 ayat 1 UU HPP disebutkan tarif PPN yang semula sebesar 10% diubah menjadi 11% yang mulai berlaku pada 1 April 2022 dan akan dinaikkan kembali menjadi 12%. paling lambat tanggal 1 Januari 2025.
Namun kepastian kebijakan PPN 12% akan diumumkan kemudian oleh Presiden terpilih Prabowo Subianto usai pelantikan presiden.
Selain rencana kenaikan PPN dari 12%, UU HPP juga memberikan kemungkinan perubahan PPN dari minimal 5% menjadi maksimal 15%.
Kemudian, Pemerintah juga memberikan kebijakan pembebasan PPN untuk berbagai kelompok, seperti kebutuhan pokok, pendidikan, kesehatan, dan transportasi, dimana kelompok menengah dan atas juga menikmati insentif tersebut.