jahangircircle.org, Jakarta – Kasus kekerasan yang melibatkan anak di bawah umur semakin marak muncul di media massa. Kasus-kasus tersebut tentu saja menimbulkan kekhawatiran yang mendalam di kalangan masyarakat dan menimbulkan banyak pertanyaan mulai dari penyebab hingga upaya pencegahan yang efektif.
Tari Sandjojo M.PSI, Psikolog Anak dan Keluarga sekaligus Kepala Sekolah Sekolah Sabit mengatakan, dari segi psikologis ada tiga pemicu utama yang menyebabkan hal tersebut terjadi dan semakin parah, antara lain sebagai berikut:
1. Kurangnya komunikasi antara orang tua dan anak pada masa remaja
Dalam mengasuh remaja, Tari menekankan pentingnya kehadiran dan keterikatan keluarga serta keterbukaan orang tua untuk melakukan percakapan terbuka dengan anak tentang seksualitas. Namun sayangnya, saat ini banyak orang tua yang menganggap bahwa pola asuh remaja tidak sepenting tahap perkembangan sebelumnya.
“Keterikatan dengan keluarga merupakan faktor yang penting sejak awal, namun sayangnya yang terjadi saat ini adalah para orang tua merasa bahwa mengasuh anak remaja tidak sepenting mengasuh anak di usia yang lebih dini”. Demikian keterangan tertulis yang diperoleh jahangircircle.org, Senin (7/10/2024).
Ia mengatakan, salah satu bentuk kurangnya kehadiran dan keterbukaan peran orang tua adalah perasaan hanya perlu mendoakan anak dan menunda diskusi penting terkait seksualitas. (karena adanya persepsi bahwa masa tumbuh kembang remaja tidak sepenting dulu) Orang tua merasa seperti “Anakmu sudah besar, doakan saja dia” atau “Baiklah, dia harusnya bersama kita sekarang.” , rasa ingin tahu anak tentang seksualitas, berbagai percakapan yang melatih mereka mengambil keputusan, atau diskusi yang menumbuhkan empati,” jelas Tari. Tidak bisa disiarkan.
2. Gadget dan informasi yang tidak terbatas menjadi cara remaja menemukan jawaban
Dengan sikap orang tua yang demikian, Tari mengatakan, dari sini remaja didorong untuk mencoba mencari tahu apa yang ingin mereka ketahui melalui teknologi dan berinteraksi dengan orang asing. “Dalam situasi saat ini dimana teknologi menjadi nafas setiap orang, tentunya remaja mencari bimbingan melalui gadget yang ada di tangannya. Ini namanya keinginan untuk mengetahui, eksplorasi suatu tempat, bukan sekedar mencari informasi tentang seksualitas dan tentunya tidak ada di rumah, jadi dia mencari percakapan lain lewat gawai dengan orang asing atau orang lain,” ucapnya.
Ia mengatakan, kondisi yang muncul dalam kasus pelanggaran terhadap anak di bawah umur adalah bukti terpaparnya informasi seksualitas dari sumber yang tidak pantas dan tidak adanya keluarga yang seharusnya menjadi tempat perbincangan pertama di rumah.
3. Empati yang mati mendorong kekerasan
Selain dua faktor di atas, Tari juga mengatakan, status ekonomi juga erat kaitannya dengan kondisi psikologis keluarga. Artinya kerasnya hidup berdampak pada kemampuan regulasi dan rasa empati anak.
“Situasi di atas (yang sudah saya uraikan) bisa menjadi faktor yang lebih besar lagi bagi keluarga dengan status sosial ekonomi rendah. Bagi sebagian keluarga dengan status sosial ekonomi rendah, kesulitan hidup dapat mengeraskan dan melumpuhkan empati lintas tingkat sosial-ekonomi sulit untuk marah dan menghancurkan orang lain melalui kekerasan. “, katanya.
Tari mengatakan, pada akhirnya tidak mudah untuk mengetahui pemicu mana yang bisa diperbaiki. Dalam situasi apa pun, semua pihak harus mengambil tindakan untuk mencegah perbaikan hubungan dan keterikatan pada anak yang sedang tumbuh.
“Jadi pada akhirnya tidak mudah untuk menjawab siapa yang harus disembuhkan terlebih dahulu. Jika kita mengutamakan pencegahan, seperti yang selalu kita dengar, hal itu akan mengarah pada hubungan yang lebih baik dengan remaja. “Lebih sering ngobrol” (Ngobrol, jangan ngobrol, jangan bicara). , kalau ngobrol ada faktor mendengarkannya) dan lebih banyak melakukan observasi untuk melihat perubahan perilaku atau emosi atau indikator lainnya,” ujarnya.