REPUBLIK INDORAMAYU — Di kesunyian desa Limbangan, kecamatan Juntingyuat, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, terdengar deru mesin kapal berbobot 3 gros ton (GT). Kemudian mesin dimatikan dan kebisingan menghilang saat kapal bergerak perlahan menuju tepi pelabuhan.
Pemilik perahu Tulip Joni, 52 tahun, memarkir perahunya yang diberi nama TJ di antara ratusan perahu di kedua sisi sungai. Kapal yang namanya diambil dari dua huruf pertama namanya itu berlayar melintasi perairan Indramayu. Dia pergi ke pantai sendirian seperti kebiasaannya.
Tulip mengikat perahunya ke tepi sungai dan keluar membawa semangkuk ikan. Dari berangkat pukul 04.00 WIB hingga kembali ke pelabuhan pada pukul 11.00 WIB, ia hanya berhasil menangkap 5 kg cumi dan 40 kg ikan pirik (ikan kecil untuk pakan bebek).
Laut tenang dan nelayan kelaparan. Ini bukan musim cumi-cumi, kata Tulip kepada Republik, Senin (21 Oktober 2024).
Menurut Tulip, cuaca di laut sebenarnya tenang. Angin sepoi-sepoi dan ombak yang ada hanya ombak kecil yang menggoyang perahu dengan lembut. Namun musim kemarau tahun ini sangat panas sehingga menyebabkan salinitas air laut meningkat.
Akibatnya, cumi-cumi yang banyak ditangkap oleh nelayan di Desa Limbangan ini lebih memilih hidup di perairan dalam yang tidak bisa dijangkau dengan jaring ikan tradisional di daerah tersebut.
“Musim cumi-cumi biasanya dimulai setelah tanggal 11 November saat hujan mulai menurunkan air untuk bertelur,” kata Tulip.
Saat itu, Tulip mampu menangkap dan membawa pulang 20 hingga 25 kilogram cumi, hingga satu kuintal, per hari. Ia sepakat, secara kaidah ekonomi, jika cumi-cumi dari nelayan berlimpah, maka harganya akan turun sekitar Rp 20.000 per kilogram.
Karena tidak tersedianya cumi-cumi di perairan saat ini, harga jualnya mencapai Rp 45.000 per kilogram.
Tn. Tulip segera menjual cumi-cumi dan pirik yang ditangkapnya di keramba ikan yang menunggu di pinggir muara sungai. Jika hasil panen 5 kg cumi dikalikan dengan harga Rp 45.000 per kg dan 40 kg ikan pirik (harga Rp 2.000 per kg), maka jumlah yang diterimanya adalah Rp 305.000.
Dengan uang di sakunya, Tulip kembali ke kapal untuk mengambil toples tengah yang kosong. Guci tersebut dibawanya dan dibawa ke Koperasi Tenaga Surya (Solsi) 38.45217 Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum Nelayan (SPBUN). Jaraknya hanya 15 meter dari tempat perahu ditambatkan.
Dari Solsi SPBUN milik Koperasi Produsen Wana Pantai Tiris, Tulip membeli sekitar 32,3 liter solar bersubsidi dengan harga Rp 6.800 per liter. Ia berencana melaut keesokan harinya dengan menggunakan solar.
Saat itu, belum banyak nelayan yang membeli solar. Hanya ada beberapa orang. Banyak nelayan yang memilih tidak melaut karena sedikitnya hasil tangkapan di laut.
Tulip kemudian menunjukkan kepada petugas SPBUN Sorsi sebuah barcode yang dicetak pada selembar kertas yang dilipat, dan dimasukkan ke dalam klip plastik bening. Barcode tersebut berisi data profil dan ukuran kapal yang menunjukkan haknya untuk membeli solar bersubsidi dari SPBUN Solusi.
Setelah dilakukan pengecekan barcode dan verifikasi kesesuaian data pada sistem SPBUN Solusi Desa Limbangan, petugas SPBUN langsung mengisi jerigen Tulip dengan solar.
Usai memberikan uang Rp 220.000 kepada petugas SPBUN, Tulip buru-buru mengambil satu tangki berisi solar dari kapal. Lalu dia pulang.
Seorang warga Desa Limbangan berkata, “Saya mau mandi dulu.”
Dua jam kemudian, Tulip kembali dan duduk santai di joroll (sejenis gubuk/pos) yang terletak di ujung sungai seberang SPBUN Solsi. Ia mengaku sore harinya ia habiskan dengan bermain catur atau sekedar ngobrol dengan nelayan lain.
Namun situasi di Joroll sepi karena banyak nelayan yang tidak melaut pada hari itu. Tulip dan dua orang lainnya merupakan satu-satunya nelayan.
Tulip mengatakan kehadiran SPBUN Solusi banyak membantu daerah tersebut. Ia sepakat solar bersubsidi bisa diperoleh dengan cepat dan ekonomis.
Sebelum Solusi SPBUN ada, Turip harus membeli solar bersubsidi di SPBU yang jaraknya 400 meter. Meski tak jauh, SPBU ini terletak di pinggir jalan utama yang menghubungkan Indramayu hingga Cirebon dan melayani seluruh kendaraan.
Akibatnya, antrean nelayan untuk membeli solar menjadi panjang. Selain itu, nelayan yang membeli solar di SPBU berasal dari berbagai desa lain.
“Antrean bisa berjam-jam, buang-buang waktu saja,” kata pria yang sudah menjadi nelayan sejak kecil ini.
Kalau tak mau bosan antre, Turip akan menginstruksikan tukang ojek untuk membeli solar di SPBU. Pembayaran kepada tukang ojek sebesar Rp 10.000.
Tulip mengamini, jika hasil tangkapan banyak maka akan mudah membayar tukang ojek sebesar Rp 10.000. Tapi kalau hasil tangkapannya sekecil sekarang, Rp 10.000 sangat masuk akal. .
Tulip menuturkan, uang hasil melaut yang diperolehnya saat itu digunakan untuk membeli bahan bakar solar senilai Rp220.000. Selain itu, sebagian juga ia gunakan untuk membeli barang-barang penting untuk perjalanan laut.
“Saya hanya punya sisa Rp 30.000. Kalau saya harus beli solar di SPBU dan minta ke tukang ojek, saya punya sedikit uang untuk dibawa pulang, makanya ada SPBUN. ”Eritt, bisa beli solar sendiri dan tidak perlu kirim montir,” kata ayah tiga anak dan seorang kakek serta cucu lainnya.
Diakui Tulip, selain lebih cepat dan irit, Anda tidak perlu khawatir dengan berbagai sistem manajemen untuk mendapatkan subsidi solar. Ia mengatakan, seluruh pengelolaan dilakukan oleh pengurus Koperasi Wana Pantai Tiris.
Nelayan lainnya, Tula, 55 tahun, mengatakan hal serupa. Ia pun mengamini kehadiran SPBUN Solusi yang dekat dengan tempat pendaratan kapal nelayan sangat membantu.
“Bagus. Sekarang sudah dekat. Saya tidak perlu antri lama. Dulu saya antri berjam-jam di SPBU dan capek,” kata Tula.
Thula baru saja membeli dua tangki solar dari SPBUN Sorsi di Desa Limbangan. Tiap toples kalengnya berkapasitas 40 liter.
“Saya beli dua tas untuk ke pantai selama dua hari. Saya berangkat besok pagi sekitar pukul 02.00 WIB,” kata Tula.
Diakui Tula, gurita yang dulu banyak ditemui di kawasan itu, kini sudah langka di kawasan tersebut. Untuk itu, ia berusaha mencari ikan lain untuk menutupi biaya solar sebesar 400.000 rupiah. Hibah ini belum termasuk makanan untuk dua hari memancing atau membeli es untuk mengawetkan ikan.
“Sekarang kita sedang menghadapi kelaparan ekonomi, tapi mau bagaimana lagi, pekerjaan saya sebagai nelayan, jadi saya tetap melaut. Apa yang saya dapat tergantung pada keberuntungan saya.
Saat itu, di saat yang bersamaan, seorang perempuan bertopi kamp (topi petani) di kepalanya mendatangi SPBUN Solusi Desa Limbangan dengan menggunakan sepeda motor. Di depan sepeda ada gigi tengah yang kosong.
Seorang perempuan bernama Tonia (42) ingin membeli mesin diesel. Ia pun menunjukkan barcode tersebut dan diberitahu bahwa dirinya berhak membeli solar bersubsidi dari SPBUN.
“Karena kondisi suamiku, kami akan pergi ke pantai besok pagi,” kata Tonia.
Diakui Tonia, hal itu dilakukannya karena merasa kasihan pada suaminya yang kelelahan setiap kali pulang dari memancing. Suaminya biasanya berangkat pagi hari, sekitar pukul 01.00 WIB atau 03.00 WIB, dan baru kembali sekitar pukul 12.00 WIB.
Tonia tiba di SPBUN Desa Limbangan Sorsi pada pukul 15.30 WIB. Ia mengaku sempat berangkat ke SPBU karena baru saja selesai bekerja di sawah sebagai buruh tani. .
“Sekarang lebih baik beli solar di dekat sini. Antreannya tidak terlalu panjang. Dulu saya selalu beli di SPBU yang jauh, tapi antreannya panjang dan saya capek,” kata Tonia.
.