jahangircircle.org, JAKARTA – Kepala Divisi 1 Jasa Non Keuangan PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) Martin Pandiangan mengatakan, permintaan refinancing masih tinggi pada kuartal IV 2024. Hal ini seiring dengan nilai obligasi yang jatuh tempo. surat utang korporasi (obligasi) mencapai Rp 42,37 triliun pada akhir tahun 2024.
Permintaan refinancing juga didorong oleh aktivitas sektor riil yang masih kuat, permintaan yang tetap kuat dan stabil, perekonomian nasional akan tumbuh sebesar 4,8-5,2 persen dan inflasi diperkirakan sebesar 2,0-3,5 persen.
Sebaliknya, Pilkada (pemilihan pimpinan daerah) serentak akan menjadi penggerak utama, kata Martin dalam jumpa pers Pefindo di Jakarta, Kamis (24/10/2024).
Ia menambahkan, permintaan refinancing juga didorong oleh siklus kebijakan moneter yang sudah memasuki tahap pelonggaran, sehingga diharapkan dapat memberikan sentimen positif dan memperkuat rencana refinancing perseroan.
Kemudian, lanjutnya, premi risiko berpeluang menurun seiring dengan mulai meredanya siklus prime rate sehingga menurunkan leverage keuangan perusahaan.
“Ekspektasinya relatif mereda. Perlombaan Pemilihan Umum (Pemilu) telah usai dan pasar menunggu rencana penerapan program dan struktur kabinet baru, terutama pada posisi-posisi penting kementerian, ”kata Martin.
Ia juga menjelaskan, semakin ketatnya likuiditas lembaga keuangan seiring dengan meningkatnya penyaluran kredit mendorong pencarian alternatif pilihan pembiayaan lain, misalnya melalui obligasi korporasi.
Sementara itu, tantangan penerbitan obligasi korporasi hingga akhir tahun 2024, termasuk risiko geopolitik yang masih tinggi, membuat volatilitas pasar belum sepenuhnya mereda.
Kemudian, lanjutnya, kemungkinan melemahnya konsumsi dan investasi akibat tingginya suku bunga yang sebelumnya dipertahankan dalam jangka waktu cukup lama, sehingga menurunkan daya beli dan meningkatkan biaya ekspansi.
“Prospek penurunan suku bunga di masa depan dapat menyebabkan emiten memperlambat penerbitan atau melakukan deleverage lebih awal,” kata Martin.
Lebih lanjut dia mengatakan, emiten dengan peringkat rendah (sekitar BBB) umumnya lebih berhati-hati dalam menerbitkan surat utang karena premi yang diminta investor atas surat utang berperingkat rendah biasanya lebih tinggi karena dianggap lebih berisiko sehingga menaikkan harganya. dana lebih mahal.
“Kemudian ada risiko tergantikan oleh instrumen yang karakteristiknya hampir mirip (bahkan biasanya bebas risiko) dan menawarkan imbal hasil yang lebih tinggi, seperti SRBI (Surat Berharga Bank Indonesia Rupiah),” kata Martin.