jahangircircle.org, JAKARTA – Pendudukan militer Israel di Jalur Gaza yang telah berlangsung selama lebih dari setahun berdampak pada produk-produk yang menjadi sasaran boikot publik. Secara kolektif, perusahaan-perusahaan yang terkena dampak boikot telah membukukan kerugian ratusan miliar rupee pada tahun ini.
Di negara tetangga, Starbucks Malaysia mengalami penurunan penjualan tajam akibat boikot pendukung pro-Palestina. Menurut Maybank, bank terbesar di Malaysia, boikot tersebut didorong oleh kemarahan pelanggan atas dugaan hubungan Starbucks dengan Israel dan Amerika Serikat.
Meskipun Starbucks tidak termasuk dalam daftar boikot, Divestasi, dan Sanksi (BDS) resmi Malaysia, analis Maybank memperkirakan merek tersebut akan kehilangan daya tariknya selamanya. Berjaya Food Berhad (BFood), pemegang lisensi Starbucks di Malaysia, diperkirakan akan membukukan kerugian sebesar 65 juta Ringgit Malaysia (RM) atau sekitar Rp 224 miliar pada akhir tahun 2024.
Dalam laporan terbarunya, BFood membukukan kerugian sebelum pajak sebesar RM31,82 miliar atau sekitar Rp 110 miliar pada kuartal terakhir, kerugian keempat berturut-turut. Pendapatan tahunan turun lebih dari 50 persen menjadi RM124,19 miliar, sekitar Rp 430 miliar. Saham BFood, yang sangat bergantung pada pendapatan Starbucks, turun sekitar 37 persen sepanjang tahun ini.
“Dampak boikot tersebut memaksa Starbucks Malaysia menutup sementara 50 dari 408 gerainya, atau 12 persen dari total,” tulis South China Morning Post seperti dikutip Jumat (22/11/2024).
Konsumen Malaysia berbondong-bondong memilih merek kopi pesaing, Starbucks di Malaysia secara eksklusif dimiliki secara lokal dan mempekerjakan lebih dari 5.000 karyawan. Padahal, Starbucks Malaysia sebelumnya membantah tuduhan keterlibatan politik dan menyebut perusahaannya adalah organisasi non-politik. Oktober lalu, Starbucks Malaysia mendonasikan RM1 juta atau sekitar Rp 3,4 miliar kepada Dana Kemanusiaan Rakyat Palestina yang dikelola oleh pemerintah Malaysia.
Terakhir, untuk mengatasi kerugian besar tersebut, BFood kini mencoba mengembangkan merek lain seperti Paris Baguette dan Krispy Kreme Donuts. Namun, analis Maybank memperingatkan bahwa diversifikasi pendapatan yang signifikan akan memakan waktu karena ketergantungan perusahaan pada Starbucks.
Penjualan yang lambat serupa juga terjadi di Indonesia, di mana boikot pro-Palestina juga berdampak pada merek-merek besar seperti KFC. PT Fast Food Indonesia (FAST), pemegang waralaba KFC dan Taco Bell, juga menghadapi tantangan serupa. Menurut data dari Algo Research, perusahaan mengalami penurunan pendapatan, persaingan yang ketat, dan perubahan preferensi pelanggan.
Pada tahun 2024, KFC Indonesia akan menutup 47 gerainya, turun dari 762 menjadi 715, dan merumahkan 2.274 karyawan. Toko serba ada seperti Indomaret dan Alfamart kini menjadi pesaing baru, menawarkan ayam goreng dengan harga 30 hingga 40 persen lebih murah dibandingkan KFC.
Dalam laporan keuangan sembilan bulan pertama tahun 2024, perseroan mencatatkan rugi bersih sebesar Rp558,75 miliar, meningkat tajam dibandingkan kerugian Rp152,42 miliar pada periode yang sama tahun lalu. Faktanya, KFC Indonesia mengalami penurunan pendapatan yang tajam sejak tahun 2020.
Pendapatan yang sebelumnya mencapai Rp7 triliun pada tahun 2019, kini diperkirakan akan turun menjadi sekitar Rp4 triliun pada tahun 2024. Penurunan tersebut mencerminkan penurunan sekitar 43 persen akibat boikot global yang terjadi di beberapa wilayah Indonesia.
Untuk mengatasi kerugian tersebut, manajemen FAST menyatakan perseroan tengah mengkaji berbagai langkah organisasi untuk memulihkan keadaan. “Kami sedang mengkaji rencana aksi korporasi yang kemungkinan akan dilaksanakan ke depan,” kata Sekretaris Perusahaan FAST J Dolimin Juono dalam keterangan tertulis merinci volatilitas perdagangan dalam keterbukaan informasi BEI yang dikutip Rabu (6/11/2024).
Namun Juono tak merinci detail proyek tersebut. Perseroan menjamin seluruh keputusan yang diambil akan diumumkan kepada publik secara transparan sesuai ketentuan yang berlaku.