jahangircircle.org, JAKARTA — Kondisi likuiditas perbankan saat ini menghadapi tantangan cukup besar baik domestik maupun global dengan proyeksi hingga tahun 2025. Dua Hambara (asosiasi perbankan negara) yakni PT Bank Mandiri (Persero) Tbk dan PT Bank Negara Indonesia (Persero) ) ) Tbk (BNI) menyoroti ketatnya likuiditas sebagai kendala utama dalam strategi pertumbuhannya.
Dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi VI DPR RI, Ketua Dewan Bank Darmawan Junaidi mengungkapkan, kondisi likuiditas perbankan tetap ketat meski suku bunga turun. Menurut dia, penurunan suku bunga tersebut tidak serta merta dibarengi dengan penurunan cost of fund (CoF) perbankan, karena minat untuk menempatkan instrumen berimbal hasil tinggi seperti Surat Berharga Rupiah Bank Indonesia (SRBI) semakin besar. Pembiayaan di luar produk perbankan tradisional pada gilirannya menyebabkan biaya pembiayaan lebih tinggi.
“Tren penurunan suku bunga tidak serta merta diikuti oleh reaksi pasar, karena masyarakat melihat adanya saluran ekspektasi imbal hasil yang lebih tinggi, CoF semua bank meningkat,” kata Dermavan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP). Komisi VI DPR RI berpartisipasi secara daring pada Rabu (13/11/2024).
Sementara itu, Direktur Utama BNI Royke Tumelaar menyoroti tekanan likuiditas yang dihadapi perbankan tidak hanya disebabkan oleh kondisi domestik tetapi juga faktor eksternal seperti kebijakan tarif impor dan potensi inflasi AS. “Tekanan likuiditas ini akan menjadi beban yang signifikan bagi bank-bank yang sedang berkembang pada tahun 2025,” kata Roic.
Situasi ini mengacu pada kondisi global yang diperkirakan akan membatasi kemampuan The Fed untuk menurunkan suku bunga lebih lanjut. Dengan tingginya suku bunga deposito di Indonesia, dana pihak ketiga (DPK) cenderung meninggalkan bank dan beralih ke sarana investasi pemerintah yang memberikan imbal hasil tinggi, sehingga semakin memperburuk ketatnya likuiditas di pasar.
Kedua bank milik negara tersebut menyadari bahwa tekanan likuiditas ini berdampak pada berbagai sektor ekonomi, termasuk sektor manufaktur, yang angka PMI-nya negatif selama empat bulan berturut-turut. Oleh karena itu, meski Bank Mandiri dan BNI terus mendukung sektor UMKM dan berupaya mempertahankan pertumbuhan, mereka masih mengkhawatirkan penurunan daya beli masyarakat yang dapat memperlambat pemulihan ekonomi.
Kedua bank berharap kebijakan pemerintah yang fokus pada peningkatan daya beli masyarakat, sektor pertanian, dan investasi dapat mendukung stabilitas perekonomian di masa depan.
“Kami berharap sinkronisasi antara kebijakan moneter dan fiskal akan memperbaiki kondisi perekonomian dan mengurangi tekanan likuiditas yang sedang berlangsung,” harap Roic.